Dunia Yang Menelan Namaku

 Dunia Yang Menelan Namaku

Karya Sabila Nurfaidah



PENGANTAR

Kirana bukan siapa-siapa. Ia hanyalah sebutir debu yang terseret angin, daun layu yang jatuh tanpa pernah ada yang peduli. Ia adalah bayangan yang bergerak di antara keramaian, tapi tak pernah benar-benar ada. Sejak kecil, ia diajarkan bahwa dunia hanya berpihak pada mereka yang bersinar—mereka yang lahir dengan keberuntungan yang mengalir dalam darahnya. Tapi Kirana? Ia bukan bintang, bukan kilauan emas yang dicari-cari orang. Ia hanyalah bayangan, eksistensi yang tak lebih dari sekadar angka dalam statistik manusia yang tak penting.

Ia tumbuh, tubuhnya bertambah tinggi, tangannya semakin kuat, tetapi jiwanya? Jiwanya telah lama terkubur di bawah reruntuhan harapan yang dihancurkan oleh dunia. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti hukuman, setiap hembusan napasnya seperti pengingat bahwa ia tidak pernah benar-benar diinginkan.

Dulu, Kirana percaya bahwa jika ia cukup pintar, cukup berusaha, cukup baik, maka dunia akan menerimanya. Ia berpikir bahwa nilai tinggi akan memberinya tempat, bahwa kebaikan hati akan membuka pintu yang tertutup rapat untuknya. Tapi ia salah. Dunia ini tidak menginginkan seseorang sepertinya. Dunia ini adalah panggung bagi mereka yang memiliki segalanya—dan Kirana? Ia hanyalah figuran tanpa suara, tanpa hak untuk berdiri di bawah sorotan.

Ketika ia mendapat nilai tertinggi, mereka menuduhnya curang. Ketika ia diam, mereka menganggapnya sombong. Ketika ia mencoba bersikap baik, mereka menertawakannya. Ketika ia akhirnya lelah dan berhenti berusaha, mereka bertanya, “Kenapa kau jadi pemurung?”

Mereka tidak tahu bahwa Kirana telah memikirkan ratusan alasan untuk tetap bertahan—dan tidak menemukan satu pun yang cukup kuat untuk membuatnya ingin tetap ada. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam, Kirana menatap langit-langit kamar dengan mata kosong, bertanya kepada dirinya sendiri, “Untuk apa aku hidup?”

Ia berjalan melewati hari-hari dengan tubuh yang bergerak otomatis, tapi tanpa jiwa. Ia tersenyum, tapi tidak ada kebahagiaan di balik bibirnya. Ia berbicara, tapi suaranya hanyalah gema hampa yang tidak pernah benar-benar didengar. Ia menatap cermin dan melihat wajah asing—seorang gadis dengan mata kosong, dengan kulit yang pucat seakan angin bisa menembusnya kapan saja.

Pukulan? Sudah biasa. Dentuman rotan? Seperti lagu pengantar tidur.

Tidak ada yang ingin tahu bagaimana perasaannya, bagaimana sesak yang terus merambat dalam dadanya, bagaimana ia meragu setiap kali menatap bayangannya sendiri di cermin. Dunia tidak peduli pada Kirana. Dunia hanya peduli pada mereka yang bisa bersinar terang, bukan seseorang yang hanya mampu bernafas dalam kegelapan.

Ia ingin menjerit, tapi suaranya sudah mati. Ia ingin menangis, tapi air matanya telah mengering. Ia ingin lari, tapi ke mana? Dunia ini adalah sangkar tanpa pintu keluar.

Kirana pernah berharap ada seseorang yang akan datang dan menariknya keluar dari kegelapan ini. Seseorang yang akan melihatnya, mendengarkannya, memahami bahwa ia bukan hanya sekadar nama dalam daftar hadir atau angka di atas kertas ujian. Seseorang yang akan berkata, "Aku melihatmu, dan aku peduli." Tapi harapan itu perlahan pudar. Dunia tidak akan pernah menoleh padanya. Kirana hanyalah serpihan kecil yang terselip di antara riuhnya kehidupan mereka yang lebih penting. Ia hanyalah nama yang bisa dihapus kapan saja, tanpa ada yang benar-benar menyadari kehilangannya.

Dan kemudian, mereka mengambil satu-satunya hal yang masih ia miliki—namanya.

Nama yang ia ukir dengan kerja keras, dengan air mata, dengan malam-malam panjang penuh pengorbanan. Nama yang seharusnya berdiri di puncak, kini dipermalukan, dicabik, diinjak-injak seakan itu hanya debu. Mereka menuduhnya curang. Mereka menjatuhkannya ke jurang. Mereka menertawakannya saat ia berusaha bangkit.

Kirana telah dihancurkan, diludahi, dihempaskan ke kegelapan yang lebih dalam. Ia telah kehilangan segalanya. Tapi haruskah ia tetap membiarkan dunia menelannya? Haruskah ia biarkan namanya lenyap begitu saja, seakan ia tidak pernah ada? Atau…

Haruskah ia rebut kembali namanya?


BAB 1

ANAK YANG HARUS 

PANTAS HIDUP

    Suara dentuman rotan itu bukan lagi hal yang mengejutkan bagi Kirana. Sudah bertahun-tahun ia mengenalnya getaran tajam yang menjalar dari kulit ke tulang, perih yang berubah menjadi mati rasa, dan akhirnya, hanya ada dingin yang merayap di balik kulitnya. Kadang-kadang ia berpikir, apakah manusia bisa kehilangan kemampuan untuk merasakan sakit jika sudah terlalu sering mengalaminya?
“Kamu anak perempuan! Tidak boleh menjawab orang tua!” suara Ayahnya menggelegar, memenuhi setiap sudut rumah. Kirana berdiri di tengah ruangan, tubuhnya kaku, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
“Tapi aku...”
Plak!
Tamparan itu datang lebih cepat dari yang bisa ia duga. Kepalanya terlempar ke samping, tetapi ia tidak menangis. Tidak kali ini. Air mata hanya akan membuat segalanya lebih buruk.
“Kamu pikir kamu bisa membantah?” suara Ibu kini ikut bergema, lebih dingin daripada Ayah, lebih tajam daripada rotan yang masih digenggam di tangan pria itu. “Berapa kali kami bilang, anak itu tidak usah banyak bicara? Dengarkan saja! Lakukan saja! Kamu pikir hidup itu tentang merasa?”
Kirana diam. Ia tahu tidak ada gunanya membela diri. Tidak ada gunanya menjelaskan bahwa ia hanya ingin didengar, hanya ingin berkata bahwa hari ini ia merasa lelah, bahwa ia ingin bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah, bahwa ia ingin seseorang bertanya bagaimana perasaannya.
Tetapi di rumah ini, perasaan adalah hal yang tabu.

Ia tumbuh dalam keheningan yang dipaksakan, di antara harapan-harapan yang lebih berat daripada tubuh kecilnya. Sejak kecil, ia tahu bahwa ia bukanlah anak biasa, bukan karena ia istimewa, tetapi karena ia harus istimewa. Ia tidak boleh menjadi anak yang biasa-biasa saja. Ia harus menjadi yang terbaik. Ia harus membuat orang tuanya bangga. Ia harus tumbuh sempurna agar layak hidup di dunia ini.

“Anak seperti kamu tidak boleh cengeng,” kata Ayahnya suatu hari, bertahun-tahun yang lalu, ketika Kirana masih berusia tujuh tahun dan pulang dengan luka di lututnya. “Kalau kamu lemah, dunia akan menginjakmu sampai habis. Ingat itu.”
Dunia akan menginjakmu.

Mungkin itulah mengapa sejak kecil, orang tuanya memastikan bahwa sebelum dunia bisa menghancurkannya, mereka yang terlebih dahulu akan menguatkannya. Dengan pukulan. Dengan bentakan. Dengan aturan-aturan yang tidak boleh diganggu gugat.
Kirana masih ingat pertama kali ia menangis di depan mereka. Ia pulang dari sekolah, berlari ke arah Ibunya dengan mata basah dan suara terisak. “Bu, tadi aku dijatuhin sama temenku…”
Tapi Ibu tidak membalas dengan pelukan. Tidak dengan kata-kata penghiburan.
“Apa yang kamu lakukan sampai dijatuhkan?” tanya Ibu, nadanya datar, dingin.
Kirana mengerjap, tidak mengerti. “Aku… aku nggak tahu…”
Ibu menghela napas panjang, seakan putus asa. “Kalau kamu cukup kuat, cukup pintar, cukup baik, orang lain nggak akan berani menyentuhmu. Jangan datang ke sini menangis. Perbaiki diri sendiri.”

Hari itu, Kirana belajar bahwa air mata adalah kelemahan.
Maka ia menelannya dalam-dalam.
Ia tidak pernah lagi bercerita tentang hal buruk yang menimpanya. Tentang bagaimana teman-temannya menjauhinya karena mereka menganggapnya sok pintar. Tentang bagaimana seorang guru pernah menuduhnya menyontek hanya karena ia mendapat nilai sempurna. Tentang bagaimana setiap malam ia menatap langit-langit kamarnya dan bertanya-tanya apakah ada tempat di dunia ini di mana ia boleh menjadi dirinya sendiri tanpa harus membuktikan apapun.
Ia ingin berkata, Bu, aku lelah. Bu, aku takut. Bu, aku ingin seseorang mendengarkanku tanpa menghakimi.
Tapi suara-suara itu selalu terhenti di tenggorokannya.

Malam itu, ia duduk di mejanya, di bawah cahaya lampu belajar yang meredup. Tangannya mencengkeram pulpen, menulis baris-baris kata yang tidak akan pernah ia ucapkan dengan lantang.
Apakah aku benar-benar harus pantas hidup?
Apakah seorang anak harus sempurna dulu agar layak dicintai?
Apakah aku hanya ada di dunia ini untuk memenuhi harapan orang lain?
Ia menggenggam buku catatannya erat-erat, ingin merobeknya, ingin menghancurkan setiap kata yang ia tulis, tetapi tidak bisa.
Sebab di sanalah, dalam halaman-halaman kertas usang itu, satu-satunya tempat di mana ia benar-benar ada.


BAB 2

DOSA YANG 

TAK KULAKUKAN

    Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dihukum atas dosa yang tidak pernah kau lakukan.
Hari itu, Kirana duduk di bangkunya, seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi ada sesuatu yang berbeda—keheningan yang tidak biasa, tatapan-tatapan yang terasa lebih tajam, bisikan-bisikan yang menusuk seperti belati tak kasatmata.
Ia bisa merasakannya.
Ada sesuatu yang salah.
Dan sesuatu itu meledak ketika Pak Satria, guru mata pelajaran Matematika, berjalan masuk dengan wajah yang lebih dingin daripada biasanya. Langkahnya terhenti tepat di depan meja Kirana.
“Kirana.”
Ia mendongak, menatap mata pria itu yang dipenuhi sesuatu yang tidak bisa ia artikan—kekecewaan? Kemarahan? Kebencian?
“Berdiri,” perintahnya.

Kirana berdiri perlahan, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. “Ada apa, Pak?”
Pak Satria melemparkan selembar kertas ke mejanya, kertas ujian. Ujian akhir. Ujian yang menentukan ke mana ia akan melangkah setelah ini. Ujian yang ia kerjakan dengan segenap jiwa dan raga, dengan malam-malam tanpa tidur, dengan keringat dan air mata.
“Kau menyontek.”
Seketika, dunia berhenti berputar.
“Apa?” suaranya nyaris hanya bisikan.
Pak Satria menyilangkan tangan di dadanya. “Ada yang menemukan kertas contekan di bawah mejamu. Isinya persis seperti jawabanmu.”
Tawa kecil terdengar dari sudut ruangan. Rehan.
“Tuh kan, apa gue bilang?” suaranya penuh ejekan. “Mana mungkin anak beasiswa bisa dapet nilai tinggi? Dia cuma sampah yang pinter nipu.”
Kirana menggeleng panik. “Pak, saya nggak...saya nggak pernah nyontek! Saya belajar mati-matian untuk ini!”
Pak Satria menghela napas, seolah semua itu hanya omong kosong. “Kalau kau tidak menyontek, lalu bagaimana kau bisa mendapatkan nilai sempurna? Bahkan siswa terbaik di kelas ini saja tidak bisa sepertimu.”

Kirana membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Bagaimana ia bisa menjelaskan? Bagaimana ia bisa membuat mereka percaya bahwa ia menghabiskan malam-malamnya dengan menekuri buku, menghafal rumus hingga nyaris gila, berjuang sendiri dalam keheningan?
“Pak, saya tidak pernah nyontek,” katanya lagi, suaranya bergetar.
“Tapi buktinya ada.”
Kirana merasakan kakinya melemas.
Bukti? Apa itu cukup? Apakah secarik kertas yang entah siapa yang menaruhnya lebih kuat daripada bertahun-tahun kerja kerasnya?
Tawa semakin kencang. Bisikan semakin tajam.
“Sok suci banget.”
“Gue sih nggak heran, dia emang dari dulu munafik.”
“Hah, makanya jangan percaya sama orang kayak dia.”

Kirana menoleh ke segala arah, berharap menemukan seseorang—satu orang saja—yang masih memandangnya seperti sebelumnya. Tetapi semua wajah yang ia temui dipenuhi kebencian. Teman-temannya. Orang-orang yang dulu mengajaknya berbicara. Bahkan seseorang yang paling ia percaya.
Alya.
Sahabatnya sejak kecil.
Kirana menatapnya, berharap melihat keraguan, harapan bahwa setidaknya seseorang akan membelanya. Tetapi yang ia temukan hanya satu hal.
Kepercayaan.
Bukan kepadanya, tapi kepada kebohongan yang dilontarkan dunia.
“Alya…” suaranya hampir tidak keluar.
Tetapi Alya hanya menunduk, tidak berani menatap matanya.

Dan saat itu, sesuatu di dalam diri Kirana hancur berkeping-keping.
Ia ingin berteriak. Ingin menjerit bahwa ini tidak adil, bahwa mereka tidak tahu apa-apa, bahwa mereka tidak berhak menilainya berdasarkan kebohongan yang bahkan tidak punya dasar.
Tetapi suaranya tercekat.
Karena di dunia ini, yang berbicara lebih dulu, yang punya pengaruh lebih besar, yang punya kekuasaan lebih tinggi, dialah yang dipercaya.
Dan Kirana?
Kirana hanyalah nama yang bisa dicoret kapan saja, tanpa ada yang benar-benar peduli.

SEBULAN KEMUDIAN

Ketika hasil ujian diumumkan, Kirana menatap lembaran nilai di tangannya. Tangannya bergetar.
Nilainya anjlok.
Satu angka yang tidak seharusnya ada di sana menghancurkan segalanya.
Ia tidak diterima di sekolah impiannya. Tidak bisa berdiri di tempat yang selama ini ia perjuangkan.
Ia telah dihukum atas dosa yang tidak pernah ia lakukan.
Dan dunia?
Dunia hanya menertawakannya.


BAB 3

RUMAH YANG TAK PERNAH

MENJADI RUMAH

    Tidak ada tempat yang lebih kejam dari rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung.
Kirana berjalan pulang dengan langkah yang terasa seperti menyeret rantai besi. Tangannya gemetar, jemarinya mencengkeram erat lembar nilai yang sudah lecek, seakan jika ia menggenggamnya lebih kuat, kenyataan di atasnya bisa berubah. Tapi angka-angka itu tetap menari di sana, mencemoohnya, menegaskan bahwa dunia telah memutuskan untuk menjatuhkannya tanpa ampun.

Ketika ia sampai di depan rumah, matanya menatap pintu kayu yang begitu familiar, tapi hari ini terasa seperti gerbang menuju neraka. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya mendorongnya.
Sunyi.
Tidak ada suara televisi. Tidak ada obrolan. Hanya keheningan yang begitu mencekik, seakan rumah ini sedang menahan napas sebelum badai mengamuk. Dan benar saja.
Badai itu datang.

“APA INI?!”
Suara ayahnya menghantam udara seperti petir yang menyambar. Lembar nilai itu sudah terlempar ke lantai sebelum Kirana sempat mengucapkan satu kata pun. Ayahnya berdiri di sana, napasnya memburu, matanya menyala seperti serigala kelaparan yang siap merobek mangsanya.
“INI HASIL BELAJARMU?! INI YANG KAU BANGGAKAN?!”

Kirana menunduk. Ia ingin berbicara, ingin menjelaskan, tapi apa gunanya? Tidak ada yang mau mendengar. Tidak ada yang peduli. Ia hanyalah boneka rusak yang tidak lagi berharga.
“Kau bilang ingin masuk sekolah favorit! Kau bilang sudah belajar mati-matian! Lalu APA INI?!”
“Aku…” suaranya bergetar, lebih seperti gumaman yang nyaris tidak terdengar.
PLAK!
Tamparan itu datang begitu cepat hingga Kirana tidak sempat menghindar. Kepalanya terpelanting ke samping, matanya membelalak karena rasa panas yang tiba-tiba membakar pipinya. Sejenak, dunia berputar. Tapi sakit itu… sakit itu bukan hanya di kulitnya.

Sakit itu ada di dalam jiwanya.
“Anak bodoh! Dasar memalukan!”
Ibunya kini maju, wajahnya penuh amarah, bibirnya tertarik dalam ekspresi jijik yang membuat Kirana merasa seperti kotoran yang tidak layak ada di rumah ini.
“Kami sudah bekerja mati-matian! Sudah membayar sekolah mahal! Dan ini balasanmu? Kau pikir kami punya uang untuk menyekolahkan anak gagal sepertimu?”

Kirana menelan ludah, merasakan sesuatu yang panas membakar tenggorokannya.
“Tapi, Bu… Aku tidak bersalah…” suaranya nyaris seperti bisikan, seakan jika ia mengucapkannya terlalu keras, dunia akan semakin menghukumnya.
“Tidak bersalah?!” Ibunya tertawa sinis. “Kalau kau tidak bersalah, kenapa sekolah tidak membelamu? Kenapa guru-guru malah menghukummu? Kau pikir kami bodoh? Apa kau ingin membuat kami malu dengan hasil seperti ini?!”
Air mata yang sejak tadi ia tahan mulai menggenang, tapi Kirana menunduk lebih dalam, menolak untuk membiarkan mereka melihatnya rapuh.
“Lihat aku kalau bicara!”
Tangannya dicengkeram. Dagunya dipaksa mendongak. Mata mereka bertemu—mata penuh kemarahan, dan mata yang mulai kehilangan cahayanya.
“Jangan menunduk seperti pecundang! Memang itu yang kau inginkan? Hidup sebagai pecundang?!”
Kirana ingin berteriak, ingin berkata bahwa semua ini bukan salahnya. Bahwa dunia telah mempermainkannya. Bahwa ia dihukum atas dosa yang tidak pernah ia lakukan.
Tapi apa gunanya?
Tidak ada yang akan percaya.
Tidak ada yang akan peduli.
“Jawab!”
“Aku bukan pecundang.”
Suara itu keluar lebih lemah dari yang ia inginkan, lebih lirih dari suara angin yang melintas di antara mereka. Tapi tetap saja, ayahnya mendengar.
Dan itu membuatnya semakin marah.
“Bukan pecundang? Lalu kenapa kau dihukum? Kenapa nilaimu seperti ini? Kau pikir sekolah Berakreditasi B  itu bisa membawamu ke mana? Kau pikir ada orang yang mau mempekerjakan anak gagal sepertimu?”

Setiap kata seperti cambuk yang mencabik-cabik harga dirinya. Seakan mereka ingin meyakinkannya bahwa ia tidak seharusnya ada. Bahwa ia adalah kesalahan.
“Aku tidak akan membayar sekolah mahal-mahal untuk anak gagal sepertimu,” ayahnya mengembuskan napas panjang, nadanya penuh kejijikan. “Mulai sekarang, jangan harap ada perlakuan istimewa di rumah ini.”
Perlakuan istimewa?
Kirana ingin tertawa. Seumur hidupnya, kapan ia pernah mendapatkan perlakuan istimewa? Sejak kecil, ia sudah tahu bahwa dirinya tidak lebih dari beban. Bahwa eksistensinya hanyalah sesuatu yang harus ditoleransi, bukan sesuatu yang dirayakan.
Tapi ia tidak tertawa. Ia hanya menunduk, mengulurkan tangan, mengambil lembaran nilai yang telah terinjak-injak di lantai.
Lalu ia pergi.
Kakinya terasa berat saat melangkah menuju kamarnya, tapi ia tetap berjalan. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu berdiri di depan cermin.
Pantulan di sana menunjukkan seorang gadis dengan mata kosong, pipi yang masih memerah akibat tamparan, dan tangan yang masih gemetar.
Ia menatap dirinya lama.
Lama sekali.
Seakan ia mencoba mencari sesuatu di sana, mencari seseorang yang dulu pernah hidup dalam tubuh ini, seseorang yang masih memiliki harapan, seseorang yang masih percaya bahwa dunia tidak sepenuhnya jahat.
Tapi orang itu tidak ada.
Yang tersisa hanyalah gadis yang tidak diinginkan.
Gadis yang tidak pernah cukup baik.
Gadis yang tidak seharusnya ada.
Sebuah senyum pahit muncul di bibirnya.
Lalu ia berbisik pada bayangannya sendiri.
“Aku seharusnya tidak pernah lahir.”


BAB 4

CAHAYA DI UJUNG GELAP

Selama ini, Kirana pikir ia telah mati.
Dunianya.
Sejak fitnah itu menyebar, sejak semua orang berbalik memunggunginya, sejak keluarganya sendiri menamparnya dengan kata-kata yang lebih menyakitkan daripada pukulan, ia merasa dunianya sudah hancur.
Sekolah baru itu terasa seperti dunia asing yang tak berjiwa.
Tidak ada yang menatapnya. Tidak ada yang menyapanya. Semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing, dan Kirana merasa seperti hantu yang tersesat di antara mereka.
Ia berjalan di lorong dengan kepala tertunduk, menekan rasa nyeri yang berdenyut di hatinya setiap kali melihat kelompok-kelompok siswa yang bercanda, tertawa, dan berbagi cerita seolah dunia tidak pernah mengkhianati mereka.
Di sekolah lamanya, ia mungkin telah dibenci, tetapi setidaknya ia masih eksis, menjadi bahan gosip, menjadi objek hinaan, menjadi seseorang yang dibicarakan.
Tapi di sini, ia bukan siapa-siapa.
Ia tidak dibenci. Tidak pula disukai.
Ia hanya… tidak ada.
Dan mungkin, itu lebih buruk daripada kebencian.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Ia tidak punya siapa pun untuk diajak bicara. Tidak ada seorang pun yang mencari keberadaannya. Ia makan sendirian di kantin, duduk di pojok dengan buku sebagai satu-satunya teman yang tidak akan pernah mengkhianatinya.
Pelajaran pun terasa hampa. Bukan karena ia tidak mengerti, tetapi karena untuk apa semua ini? Untuk apa berusaha jika pada akhirnya dunia akan tetap menindasnya? Untuk apa bermimpi jika setiap langkahnya selalu berakhir dengan kehancuran?
Ia menjadi bayangan.
Hanya hadir, tapi tidak benar-benar hidup.
Hingga suatu hari, seseorang menariknya keluar dari kehampaan itu.
“Hei, kamu suka buku itu?”
Kirana mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. Sudah lama sekali sejak seseorang benar-benar berbicara padanya.
Seorang gadis berdiri di hadapannya, dengan mata yang bersinar penuh semangat.
“Maaf kalau aku tiba-tiba menyapa, tapi aku suka buku itu juga. Kamu suka baca?”
Kirana menatap buku di tangannya, seakan baru menyadari keberadaannya.
Gadis itu tersenyum. “Namaku Nayla.”
Ada sesuatu dalam cara Nayla berbicara, sesuatu yang hangat, sesuatu yang tidak menghakimi. Kirana menatapnya, ragu, sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Kirana.”
Nama itu keluar dengan suara yang nyaris bergetar, seakan ia takut mengatakannya terlalu keras akan membuat dunia kembali menelannya.
Tapi Nayla tidak tertawa. Tidak menatapnya dengan sinis.
Sebaliknya, ia tersenyum.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Kirana merasa bahwa mungkin, dunianya belum sepenuhnya mati.

Nayla tidak seperti yang lain.
Ia tidak bertanya kenapa Kirana selalu sendirian. Ia tidak membicarakan desas-desus atau ingin tahu tentang masa lalu Kirana. Ia hanya ada—dan itu cukup.
Mereka mulai menghabiskan waktu bersama. Berbagi buku. Berbincang tentang hal-hal sepele.
Nayla adalah kebalikan dari Kirana. Cerah, penuh semangat, percaya diri.
Tapi anehnya, ia tidak membuat Kirana merasa kecil atau tidak berharga. Ia tidak pernah memaksa Kirana untuk bicara, tapi juga tidak pernah meninggalkannya dalam keheningan yang menyakitkan.
Ia adalah seseorang yang menyalakan cahaya dalam kegelapan Kirana.

Namun, bayangan dari masa lalu masih ada.
Setiap kali Kirana melewati cermin di sekolah, ia merasa seolah bayangannya sendiri menatapnya dengan ejekan.
Kau pikir ini akan bertahan lama?
Kau pikir kau pantas bahagia?

Dan terkadang, di tengah malam, ia terbangun dengan sesak di dadanya, teringat bagaimana teman-temannya dulu menatapnya dengan kebencian, bagaimana keluarganya menyebutnya sebagai beban.
Tidak peduli seberapa jauh ia melangkah, suara-suara itu masih mengikutinya.
Kau tidak pantas ada.
Namun perlahan, dengan Nayla di sisinya, Kirana mulai menemukan sesuatu yang baru.
Bukan hanya harapan.
Tapi alasan.
Ia mulai membaca lagi, bukan sekadar untuk melarikan diri, tapi karena ia menemukan kebahagiaan di dalamnya.
Ia mulai menulis, mencurahkan isi hatinya ke dalam kata-kata, menuangkan semua luka yang tidak bisa ia ucapkan dalam suara.
Dan suatu hari, Nayla melihat tulisan-tulisannya.
“Ini luar biasa.” Mata Nayla berbinar saat membaca halaman demi halaman yang Kirana tulis. “Kau harus menunjukkan ini pada orang lain.”
Kirana menggeleng. “Tidak ada yang peduli.”
“Aku peduli.” Nayla menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Dan aku yakin masih banyak orang lain yang akan peduli.”
Itu adalah kata-kata yang sederhana.
Tapi bagi Kirana, kata-kata itu seperti tangan yang menariknya keluar dari kubangan yang hampir menelannya.
Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang benar-benar melihatnya.
Dan mungkin, dunia yang dulu mati itu…
Masih bisa dihidupkan kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen Gubuk Terkutuk

Puisi Tinta Yang Menyelamatkanku Dari Sunyi