Cerpen Gubuk Terkutuk
'Gubuk Terkutuk'
Karya Sabila Nurfaidah
Matahari mulai merayap naik, mengoyak kabut tipis yang menyelimuti desa. Kokok ayam bersahut-sahutan, bersatu dengan lantunan azan yang menggema dari menara masjid tua. Fathan menggeliat di atas kasur lusuhnya, matanya masih berat, tubuhnya enggan beranjak. Namun, bisikan iman lebih kuat dari rasa kantuk.
Dengan gerakan malas, ia menyambar sarung dan pecinya, lalu melangkah keluar rumah. Angin subuh menusuk kulitnya seperti ribuan jarum es.
Dengan gerakan malas, ia menyambar sarung dan pecinya, lalu melangkah keluar rumah. Angin subuh menusuk kulitnya seperti ribuan jarum es.
"Astaga, kenapa dingin sekali hari ini?" gumamnya sambil menguap berulang kali.
"Hei, Fathan!" terdengar suara Radi memanggil dari belakang.
"Halo! Mau ke masjid?" Fathan menyapa.
"Ya iyalah, emangnya mau kemana lagi?" Radi terkekeh. Ilham yang berjalan di sampingnya ikut tertawa.
Setibanya di masjid, mereka mengambil wudhu, lalu bergabung dengan jamaah lainnya. Setelah sholat subuh, mereka mengikuti pengajian rutin bersama Bu Aisyah, guru mengaji yang telah mendidik mereka sejak kecil.
"Baiklah, anak-anak, mari kita mulai tadarus," ucap Bu Aisyah dengan senyum lembutnya.
"Siap, Bu!" jawab mereka serempak.
"Siap, Bu!" jawab mereka serempak.
Waktu berlalu tanpa terasa. Pukul 07.00 pagi, pengajian usai. Dalam perjalanan pulang, mereka bertukar cerita, tertawa, hingga langkah mereka tiba-tiba terhenti di depan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di antara semak belukar yang menjulang tinggi.
Gubuk itu seperti luka yang tak tersembuhkan di tengah desa. Atapnya jebol, dindingnya berlumut, dan jaring laba-laba memenuhi setiap sudutnya. Ada sesuatu tentang tempat itu yang membuat udara terasa lebih berat, lebih pekat, seperti menyimpan rahasia kelam.
"Mengapa gubuk ini dibiarkan terbengkalai?" tanya Risa, matanya menelusuri setiap sudut bangunan itu dengan rasa ingin tahu yang membara.
"Dulu ada keluarga yang tinggal di sini," jawab Ilham, suaranya sengaja dibuat berat untuk menambah efek dramatis. "Tapi mereka pindah setelah mendengar suara aneh setiap malam."
"Kenapa kita dilarang masuk?" Fathan mengernyitkan dahi.
"Mungkin hanya mitos," gumam Sintia. "Bagaimana kalau kita masuk dan membuktikan sendiri?"
Radi mundur selangkah. "Aku tidak setuju! Warga sudah memperingatkan kita, dan—"
"Tapi kita tidak akan pernah tahu kebenarannya kalau tidak melihat sendiri," potong Fathan.
Akhirnya, dengan dada berdebar, mereka berjalan mendekati gubuk. Ilham dengan percaya diri mendobrak pintunya—BANG!
Apa yang mereka lihat di dalam membuat darah mereka membeku.
Di balik dinding kayu lapuk itu, dunia lain tersembunyi.
Gubuk itu bukan sekadar bangunan reyot—melainkan gerbang menuju neraka dunia.
Ruangan itu membentang luas, lebih luas dari yang seharusnya. Jutaan jeritan menggema di udara. Cahaya redup memperlihatkan pemandangan mengerikan: orang-orang terikat rantai, punggung mereka penuh luka cambuk, darah mengalir membasahi tanah.
Fathan menelan ludah. "Ini... tempat apa?"
Langkah mereka tertahan saat melihat sosok yang tak asing: Bu Aisyah.
Ia diikat dengan rantai besi, wajahnya penuh luka, air matanya bercucuran. Ia berbisik dengan suara gemetar, "Lahaula wala quwwata illa billah..."
"Ibu! Apa yang terjadi?" Fathan berlari mendekat, matanya memanas.
"Jangan mendekat!" suara Bu Aisyah bergetar. "Ini perangkap! Aku masuk ke sini karena mendengar suara minta tolong, tapi ternyata..."
BRAK!
Tanah bergetar hebat. Dari kegelapan, muncul sesosok makhluk mengerikan.
Ratu Iblis.
Tinggi menjulang, bertanduk dua, matanya merah menyala, jubah hitamnya berkibar seperti bayangan kematian. Tangannya menggenggam tongkat emas yang memancarkan energi hitam.
Ia menyeringai. "Ah... tamu baru. Kalian ingin bergabung dengan mereka?"
"Siapa kau?!" Fathan berteriak, tangannya terkepal.
"Hahaha! Aku? Aku adalah penguasa tempat ini!" Ia mengangkat tongkatnya, dan seketika tubuh mereka terasa dihantam ribuan belati tak kasat mata.
Mereka terjatuh, menggeliat kesakitan.
"Tongkat itu bukan sembarangan," bisik Ilham, wajahnya pucat.
Fathan memicingkan mata. "Kita tidak bisa menang dengan kekuatan sendiri..."
Bu Aisyah, meskipun lemah, bersuara lirih, "Berdoalah. Allah lebih kuat dari segalanya..."
Dengan napas tersengal, mereka menggenggam tangan satu sama lain, mengucap doa dengan hati yang bulat.
Dan tiba-tiba, angin berhembus kencang.
Ratu Iblis tersentak, wajahnya berubah ketakutan. "Tidak... Ini tidak mungkin!"
Tangan mereka kini menggenggam bilah bambu yang entah dari mana datangnya. Cahaya keemasan menyelimuti mereka.
"SEKARANG!"
Mereka berlari serentak, menusukkan bilah bambu itu ke dada Ratu Iblis.
"TIDAAAAAK!"
Jeritan menggema, gubuk itu bergetar, retakan muncul di dindingnya, dan dalam sekejap... semuanya runtuh.
Saat debu menghilang, mereka mendapati diri mereka kembali di tanah lapang—tanpa gubuk tua, tanpa jeritan, tanpa kegelapan.
Semua orang yang disiksa kini bebas.
Bu Aisyah tersenyum penuh syukur. "Allah tidak pernah membiarkan kebatilan menang..."
Fathan menatap teman-temannya. Mereka masih gemetar, napas mereka masih tak beraturan.
"Tapi..." Radi menoleh ke belakang.
Tidak ada jejak gubuk itu. Tidak ada yang tersisa.
Ilham bergumam pelan, "Apakah... semua itu nyata?"
Fathan hanya tersenyum kecil.
"Yang jelas," katanya, "kita tidak akan pernah melupakannya."
Komentar
Posting Komentar